Yusril Klarifikasi Pernyataan Peristiwa 98 Bukan Pelanggaran HAM Berat

Timur
8 Min Read
Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra. Foto: dok. Setneg

“Hasil penyelidikan kami menunjukkan terjadi pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan kemanusiaan. Terjadinya serangan yang meluas, sistematis dalam bentuk pembunuhan, penganiayaan, penghilangan kemerdekaan, penghilangan paksa, penderitaan fisik. Dan hasil itu sudah kami sampaikan ke Jaksa Agung. Jadi bolanya kan sekarang di Jaksa Agung untuk menindaklanjuti dengan penyidikan,” tegasnya.

Para kerabat berdemo di luar Kedutaan Besar AS sambil membawa foto para aktivis yang hilang dan korban pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh sejumlah anggota KOPASSUS pada 1997-1998, 27 Juli 2010. (Foto: Dita Alangkara/AP)

Kepala Divisi Pemantauan dan Impunitas Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Jane Rosalina mengungkapkan klarifikasi dari Yusril tetap saja menimbulkan polemik di mata publik. Pasalnya, Yusril sempat menyatakan beberapa hal yang dinilainya bermasalah.

Pertama, katanya, terkait dengan penyelesaian kasus 1998 yang dinilai Yusril cukup sulit mengingat sudah sangat lama terjadi, sehingga masyarakat diminta tidak perlu melihat ke masa lalu. Kemudian, lanjutnya, pernyataan Yusril bahwa peristiwa 1998 bukanlah pelanggaran HAM berat karena tidak melibatkan genosida dan pembersihan etnis — meski kemudian Yusril mengoreksinya.

“Pernyataan ini menjadi sangat bermasalah karena ini menjadi bukti bagaimana negara berusaha untuk memutihkan kasus pelanggaran berat HAM yang pernah terjadi di Indonesia. Kita bisa melihat bahwa negara, lewat manifestasi dari pernyataan Yusril selaku Menko Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan juga menjadi bentuk larinya tanggung jawab negara untuk kemudian melindungi, memajukan dan menegakkan HAM sebagaimana di dalam konstitusi tepatnya di pasal 28 I ayat 4, bagaimana wewenang negara untuk menyelesaikan , melindungi HAM setiap warga negaranya,” ungkap Jane.

Selain itu, kata Jane, pernyataan Yusril sebagai perwakilan pemerintah — meski kemudian diralat — sudah mendelegitimasi kerja Komnas HAM yang menetapkan peristiwa 1998 sebagai pelanggaran HAM berat. Menurutnya, pernyataan Yusril sebelumnya tersebut tidak hanya melukai perasaan keluarga korban, tetapi juga bentuk penyangkalan yang terorganisir yang dilakukan oleh negara.

“Padahal semestinya negara menyelesaikan kasus tersebut, juga demi kebaikan dan hak atas kebenaran bagi generasi yang akan datang. Juga generasi yang akan datang berhak untuk ada jaminan ketidak berulangan peristiwa ini tidak terjadi lagi di masa yang akan datang,” tuturnya.

Jane juga menilai dari pernyataan yang dilontarkan oleh Yusril menandakan pemerintah tidak memiliki komitmen kuat untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat. Apalagi dalam visi dan misi program Prabowo-Gibran yang tertuang dalam program Asta Cita, sama sekali tidak mencantumkan agenda penuntasan pelanggaran HAM berat dalam rencana penegakan HAM ke depannya.

Ia berharap penyelesaian kasus ini tidak berubah dan sesuai dengan mandat dari UU Pengadilan HAM atau UU no 26 tahun 2000. Selain itu, ia juga berharap, berkas penyidikan Komnas HAM yang sudah diproses dan diberikan kepada Kejaksaan Agung dilanjutkan.

“Semestinya Kejaksaan Agung melanjutkan proses penyidikannya ke tahap penyidikan dan kemudian presiden membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di bawah tahun 2000 maupun pengadilan HAM di atas tahun 2000. Karena kita melihat sendiri bahwa sudah ada 17 kasus pelanggaran berat HAM yang ditetapkan oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran berat HAM dan semestinya di situ presiden beserta jajarannya Komnas HAM, Kejaksaan Agung maupun Kementerian dan Lembaga terkait, itu memiliki komitmen untuk mematuhi apa yang sudah ada di dalam UU no 26 tahun 2000 untuk menuntaskan kasus pelanggaran berat HAM, ke ranah yudisial,” pungkasnya. (tim/voa)

Share This Article