Lender masih dianggap orang yang tidakdirugikan dari berbagai kasus di fintech P2P Lending.Sistem InvestasiSalah satu hal yang masih belum banyak dipahami oleh masyarakat adalahkegiatan pemberian dana merupakan kegiatan investasi dimana ada pengembalianberupa biaya manfaat yang diperoleh oleh lender.
Ketika ada investasi, maka sudahsewajarnya ada risiko yang potensial dihadapi oleh lender. Risiko investasi ini yangharus diketahui oleh lender sebagai bagian tidak terpisahkan dari kegiatan investasimereka di fintech P2P lending.
Regulator pun harus mempersiapkan regulasimitigasi risiko ketika terjadi gagal bayar hingga fraud.Salah satu alternatif yang ditawarkan untuk meningkatkan keamananinvestasi dalam fintech P2P Lending adalah asuransi bagi dana yang diberikan olehlender kepada borrower.
Asuransi ini bertujuan melindungi lender dari risiko gagalbayar oleh borrower, sehingga lender dapat merasa lebih aman dan tenang dalammenginvestasikan uangnya melalui platform fintech P2P Lending. Dengan adanyaasuransi, lender akan memiliki jaminan bahwa dana yang mereka pinjamkan akantetap aman meskipun borrower mengalami kesulitan dalam pengembalian.Namun demikian, solusi ini juga penuh dengan risiko, terutama risiko moralhazard dari borrower.
Borrower yang mengetahui bahwa dana telah diasuransikanmungkin merasa tidak perlu bertanggung jawab penuh atas pengembalian danatersebut. Mereka bisa saja menganggap bahwa kewajiban pengembalian beradapada pihak asuransi, bukan pada mereka.
Akibatnya, perilaku ini dapatmenyebabkan peningkatan risiko gagal bayar yang lebih tinggi, yang dikenal sebagaitingkat wanprestasi/gagal bayar (TWP) 90 hari. Ketika borrower tidak merasamemiliki tanggung jawab penuh, mereka mungkin kurang termotivasi untukmemenuhi kewajiban pembayaran tepat waktu.
Potensi ini akan semakin besar ketika proses credit scoring belum dapatmenggambarkan kualitas peminjam secara penuh. Terlebih tidak ada agunan yangdiberikan oleh borrower ke fintech P2P Lending yang semakin membuat potensimoral hazard terjadi.
Borrower tidak memberikan aset yang bisa dijadikan jaminan,sehingga tidak ada tekanan tambahan bagi mereka untuk mengembalikan pinjaman. Hal ini membuat asuransi harus berhati-hati dalam menyusun kebijakan danmengelola risiko, agar tidak terjebak dalam kerugian besar akibat meningkatnyatingkat gagal bayar.
Maka, langkah mitigasi dilakukan ketika awal transaksi di fintech P2PLending, baik dari sisi borrower maupun dari sisi lender. Dari sisi borrower, creditscoring harus dipertajam validasi-nya. Integrasi innovative credit scoring (ICS) yangdigunakan oleh fintech P2P Lending dengan data sistem layanan informasikeuangan (SLIK) harus dilakukan sebagai data filter awal untuk menyaring badborrower dari awal.
Kemudian, asuransi menjadi opsi optional yang diberikankebebasan ke borrower (terutama untuk kredit produktif) guna meningkatkan nilaicredit scoring mereka. Informasi mengenai kepesertaan asuransi ditampilkan ketikalender ingin memberikan dana ke borrower.
Dari sisi lender, informasi mengenai risiko investasi harus dijelaskan ketika diawal memulai investasi. Risiko investasi ini harus diiringi dengan penilaian dari sisilender terkait dengan profil risiko lender, sama seperti yang dilakukan ketikapenilaian profil risiko investasi fintech wealth management.
Dengan demikian,platform juga dapat memberikan rekomendasi borrower yang tepat bagi lendersesuai dengan profil risikonya. Pemahaman mengenai investasi lender pun jugaharus melihat dari sisi dampak yang akan diberikan oleh lender kepada borrowerdan dunia usaha secara umum. (bam)


