Dampak dan Solusi Keyboard Pilpres: Gravitasi Dinding Virtual Homophily, Filter Bubble, dan Echo Chamber

Timur
7 Min Read
Suparto yang juga Tenaga Ahli Menko PMK saat berbincang di podcast Si Ipol. Foto: rian/ipol.id

Selain itu, kerjebakan dinding virtual juga akan mengarah ke penerimaan dan bahkan penyabaran hoaks. Mereka terlalu percaya diri bahwa apa yang diterima itu pasti benar. Jadi tidak perlu dikritisi lagi. Keengganan untuk berpikir kritis ini dapat membuat mereka lebih mudah untuk percaya pada hoaks.

Akibatnya, mereka dengan mudah akan memberikan label negatif bagi mereka yang berada di luar lingkaranannya. Jelas potensi adanya disharmoni sosial yang bisa bikin kita jadi kesal.

Lalu, apa solusinya? Secara ideal, sebenarnya dalam postur Pilpres 2024, telah dikondisikan agar para calon pemilih ter-papar informasi dari 3 Capres. Salah satu di antaranya adalah Debat Capres.

Momentum ini, by design, diharapkan dapat mengurangi dampak negatif dinding-dinding virtual keyboard Pilpres 2024 sebab dapat “memaksa”masyarakat untuk mengetahui dan menyadari adanya berbagai perspektif yang dapat dipertimbangkan dalam mengambil keputusan.

Masyarakat bisa menyimak  visi misi Capres 1, 2, dan 3. Sehingga ada kesempatan untuk mengevaluasi secara kritis pendapat dan argumentasi dari para Capres. Intellectual engagement seperti ini akan membuka pintu hati munculnya partisipasi dalam Pemilu nanti.

Akan tetapi belajar dari Debat Capres ketiga lalu, fungsi itu jadi tersamarkan. Bahkan di medsos jelas nampak kian kuatnya polarisasi antar pendukung sebagai ekor dari paparan dan argumentasi.

Pendukung Capres 1 dan 3 sepakat dengan penilaian 11 dari 100 dan 5 dari 10 untuk capaian Capres 2. Sangat Buruk dan Buruk. Ditambah lagi adanya serangan personal tentang properti dari Capres 01 ke 02. Berikutnya dihantam dengan tantangan membuka data pertahanan dari 03 ke 02 saat itu juga.

Wow, sebagai tontonan sangat menarik. Sebagai tuntunan sangat memprihantinkan. Desain KPU dalam debat ini rupanya lebih menonjolkan unsur tontonan daripada tuntunan. Di antara para Capres memang sengaja “di-adu” supaya terjadi “perang terbuka.” Penonton kan memang cenderung suka ada orang “bertengkar.” Psikologi itu yang dimainkan KPU, mungkin.

Contoh, saat salah satu Capres mendapat pertanyaan dari Panelis, Capres lain dipaksa harus menanggapi. Dalam tradisi diskusi kita, “menanggapi” itu cenderung mencari titik lemah, kecuali Capres 02 yang 3 kali menyatakan setuju dengan pendapat Capres 03.

Jadi para Capres memang dirancang secara sistematis supaya “perang” (baca: beda pendapat). Pertanyaan dari dan antar Capres itu, pun,  memang dirancang tanpa koridor jelas agar bisa bikin lawan “keok” dengan pertanyaan jebakan. Idealnya dibatasi, misalnya, pertanyaan harus merujuk ke visi misi yang telah dipaparkan sebelumnya.

Mungkin KPU perlu memikirkan pentingnya “tuntunan” daripada “tontonan.” Jangan sampai indikator  keberhasilan debat ini semata-mata jumlah penonton. Dampak dari pertunjukan itu juga harus menjadi pertimbangan penting sehingga bisa mengurangi timbulnya dinding maya bahkan nyata di antara kita.

Pilpres ini kita ciptakan sebagai momentum bersejarah bukan saatnya berdarah-darah. Mari kita bangun lebih banyak jembatan penghubung bukan dinding penghalang yang kian menggunung. (tim)

Share This Article