Karena subsidi tersebut tidak menyelesaikan masalah kenaikan harga yang terus terjadi dari tahun ke tahun, dan penyaluran program pun dinilai tidak merata ke seluruh produsen.
“Banyak (produsen tahu) yang tidak dapat subsidi, tidak merata, sehingga dalam mengatasinya tidak tepat atau tidak efektif,” tegasnya.
Dindin mengatakan, langkah yang diharapkan para produsen adalah bagaimana pemerintah menjaga stabilitas harga dengan membuat acuan harga eceran tertinggi (HET) untuk kedelai impor.
“Saya rasa orang Indonesia juga ingin maju. Kayak dulu waktu era (almarhum) Presiden RI ke-2 Soeharto harga kedelai stabil. Indonesia menghasilkan kedelai lokal bagus berkualitas. Dulu ada kenaikan harga kedelai, tapi itu beberapa tahun sekali,” bebernya sambil mengingat era itu.
Tahun 2020 kenaikan harga kedelai impor berkisar Rp9.200 per kilogram para produsen dan pedagang tahu, tempe sudah beberapa kali melakukan aksi mogok produksi sebagai bentuk protes.
Tapi kenaikan harga kedelai impor terus terjadi tidak terkendali hingga kini. Alhasil memberatkan para produsen dan pedagang karena mereka harus merogoh uang lebih banyak untuk modal usaha.
Kini produsen tahu seperti Dindin bahkan terpaksa mengecilkan ukuran produksi sebagai siasat menghadapi kenaikan harga kedelai impor yang entah sampai kapan dapat turun kembali atau stabil.
“Menyiasatinya ya mau gak mau mengecilkan ukuran, memperbanyak irisan tahu, semoga pembeli warga masyarakat dapat mengerti dan memahami kondisinya seperti ini, kami juga berharap harga stabil,” ujar Dindin. (Joesvicar Iqbal)


