Cek Fakta, Insiden Kambuh Merokok pada Bocah, Capaian Target Penurunan Prevalensi Perokok Anak Terancam

Bambang
7 Min Read
Webinar Diseminasi Hasil Penelitian “Faktor Pendorong Kekambuhan Merokok (Smoking Relapse) pada Anak di Indonesia: Bukti dari Global Youth Tobacco Survey (2006-2019)” digelar oleh Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), Kamis (2/2). Foto: PKJS-UI

IPOL.ID – Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) meluncurkan penelitian mengenai “Faktor Pendorong Kekambuhan Merokok (Smoking Relapse) pada Anak di Indonesia: Bukti dari Global Youth Tobacco Survey (2006-2019)”.

Studi tersebut menunjukkan angka smoking relapse pada anak memiliki proporsi 50% ke atas. Studi menyimpulkan faktor pendorong smoking relapse pada anak dipengaruhi faktor harga maupun non-harga.

Harga rokok murah merupakan faktor signifikan, mendorong anak kambuh merokok kembali. Kenaikan harga pada pembelian rokok per bungkus menjadikan perilaku smoking relapse pada anak menurun lebih tajam dibanding pembelian rokok per batang.

Faktor non-harga pendorong perilaku smoking relapse pada anak, yaitu pengaruh teman sebaya, penggunaan rokok elektronik, keterpaparan iklan, promosi, dan sponsor rokok. Karena itu, kebijakan pengendali konsumsi rokok lebih kuat, baik dari sisi harga dan non-harga, harus terus didorong.

Data yang dihimpun, prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun mengalami peningkatan dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% pada 2018. Pemerintah Indonesia melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) telah memiliki target penurunan prevalensi perokok pada anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7% di Tahun 2024.

Namun, upaya menurunkan target prevalensi perokok anak masih menghadapi berbagai tantangan, di antaranya ancaman terjadinya smoking relapse. Smoking relapse merupakan kekambuhan berperilaku merokok kembali saat coba berhenti merokok.

Zat nikotin dalam rokok bersifat adiktif berdampak munculnya efek ketagihan dan smoking relapse. Meski perokok telah memutuskan berhenti merokok. Kondisi itu rentan terjadi pada anak berpengalaman merokok.

Selain nikotin, terdapat berbagai faktor pemungkin dan faktor penguat anak dengan pengalaman merokok, telah mencoba berhenti kembali berperilaku merokok.

Belum banyak studi mengeksplorasi faktor-faktor penyebab smoking relapse pada anak di Indonesia. Nah, PKJS-UI telah melaksanakan studi kuantitatif menggunakan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) di Indonesia multi tahun, yaitu 2006, 2009, 2014, dan 2019 secara pool panel mengeksplorasi faktor memperkuat penyebab smoking relapse pada anak di Indonesia.

Identifikasi anak smoking relapse didapat dari pertanyaan pernah mencoba merokok, mencoba berhenti merokok 12 bulan terakhir. Apakah saat ini menjadi perokok? Konsep studi dikembangkan pendekatan predisposing, enabling, dan reinforcing.

Regresi logit digunakan memprediksi kemungkinan seorang anak bakal kembali setelah berhenti berperilaku merokok.

Muhammad Abdul Rohman, Tim Riset PKJS-UI menuturkan, pun sama-sama ada kenaikan harga, pembelian rokok per bungkus menunjukkan cenderung turun smoking relapse lebih curam pada anak dibanding pembelian ketengan.

“Ini menunjukkan pembelian rokok per bungkus memiliki dampak lebih besar mencegah smoking relapse pada anak, dibanding pembelian ketengan,” kata Rohman, Kamis (2/2).

Para penanggap dari beberapa Kementerian telah merespons hasil penelitian PKJS-UI. Renova Glorya Montesori Siahaan, Perencana Ahli Madya/Koordinator Kesehatan Masyarakat, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyampaikan, Bappenas mendukung berbagai upaya diarahkan menurunkan prevalensi perokok anak.

Menurutnya, tantangan menurunkan prevalensi perokok anak tak mudah. Anak sangat dipengaruhi faktor lingkungan (selain akses dan harga). Banyak kajian yang sudah mendukung faktor harga strategis menurunkan prevalensi perokok anak.

Faktor lain perlu diperdalam yaitu mengatasi faktor kecanduan, misalnya akses upaya berhenti. Selain itu, pengendalian tingkat keluarga juga perlu menjadi perhatian bersama.

Share This Article