IPOL.ID – Langkah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Timur (Jaktim) mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur menuai kecurigaan. Hal tersebut diungkap Kepala Departemen Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembangunan Agraria, Roni Septian.
Menurutnya, meski hal ini dapat dilakukan melibatkan produk kebijakannya sendiri, ada kemungkinan upaya banding ini diduga berpihak kepentingan salah satu pihak yang selama ini disebut-sebut diduga sebagai mafia tanah.
Sebagai informasi, BPN Jaktim mengajukan permohonan banding atas Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No 441/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Tim yang menegaskan kepemilikan tanah Harto Khusumo selaku penggugat. BPN dalam kasus sama melakukan banding bersama PT. Salve Veritate terhadap putusan pengadilan. Pimpinan PT Salve Veritate sendiri, Benny Simon Tabalajun dan rekannya Achmad Djufri ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pemalsuan akta autentik tanah dan diadili di PN Jaktim.
“Wajar saja BPN banding karena dia telah menerbitkan suatu hak atas tanah. Tapi, bisa juga diduga pejabat BPN sudah terlibat korupsi dengan pengusaha, dan mau tidak mau banding dan lainnya,” kata Kepala Departemen Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembangunan Agraria, Roni Septian kepada wartawan, Sabtu (29/1).
Roni menyampaikan, BPN semestinya tak perlu melakukan banding apabila masalah utamanya terkait pihak masyarakat yang benar-benar tertipu atau korban mafia tanah yang melibatkan internal BPN. Terlebih gugatan terkait sudah diputuskan oleh pihak pengadilan.
Terkait putusan pengadilan, BPN, sambung Roni, sebetulnya tinggal meralat surat keputusan penerbitan hak atas tanah itu.
Roni menyampaikan, BPN semestinya fokus menjalankan fungsi utamanya yaitu memenuhi pelayanan pertanahan nasional. Meski disadari ada dua entitas berkepentingan di dalamnya, yakni rakyat miskin dan pemodal atau korporasi.
“BPN belum menunjukkan kinerja yang baik sepanjang 2021. Kementerian/lembaga itu masih berkutat soal sertifikasi tanah dan percepatan pengadaan tanah,” sebutnya.
Tak Lazim
Guru Besar Hukum Universitas Borobudur, Faisal Santiago berpendapat, sebenarnya tak lazim bila BPN mengajukan banding terkait putusan pengadilan tingkat pertama dalam perkara dugaan mafia tanah di Cakung Barat itu. Terlebih, menurut dia, perkara perdata jarang melibatkan BPN. Badan ini semestinya berada di tengah, sebagai pihak penetap hak tanah mengikuti putusan final proses peradilan.
“Biasanya masalah tata usaha negara (TUN) yang sering seperti pembahasan sertifikat,” tutur Faisal.
Terpisah, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman mengatakan, proses hukum sengketa lahan di Cakung Barat, Jaktim itu semakin tidak jelas. Hal ini disebabkan, diduga BPN sebagai wakil pemerintah malah terkesan berpihak kepada mafia tanah.


