Di sisi lain, Uchok juga mengkritisi rencana anggaran untuk membangun IKN sebesar Rp500 triliun yang dinilai tak sebanding dengan luas dan kondisi lahan IKN.
“Alokasi anggaran sebesar Rp500 triliun merupakan paket akal-akalan saja. Sengaja dikecil-kecilkan agar tidak ada reaksi dari publik dan DPR,” singgungnya.
Dibandingkan pemindahan Ibu Kota Kazakhstan dari Almaty ke Astana/Nursultan pada 1998 lalu, anggaran pemindahan Ibukota Jakarta ke Kalimantan Timur relatif lebih kecil.
Berdasarkan pengamatannya, biaya pindah ibukota Kazahkstan dari Almaty ke Astana/Nursultan sebesar USD30 miliar (setara Rp450 triliun), yang jika dikonversikan ke nilai mata uang saat ini bisa empat kali lipat setara USD120 miliar dollar (setara Rp1.800 triliun). Padahal luas Nursultan hanya 722 kilometer persegi atau ekivalen 72.200 hektare.
“Kok Indonesia bisa pindah Ibu Kota negara ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara dengan rencana luas 256.142 ha (3,5 kali lipat luas Nursultan) cuma membutuhkan biaya Rp500 triliun dengan lokasi yang sangat-sangat buruk, hutan belantara, banyak lubang
bekas tambang dan lahan gambut,” bebernya.
Dari gambaran ini, CBA pun meminta DPR agar menunda pengesahan RUU IKN menjadi UU sebelum ada kajian yang komprehensif. “Masa DPR mau dipaksa paksa pemerintah Jokowi hanya sebagai tukang stempel saja, kaya zaman orde baru,” pungkas Uchok. (ydh)


